KITA RINDU RENDRA

 KITA RINDU RENDRA

WS Rendra (tengah) dan Abu Bakar (kanan) dalam acara Forum Teater Nasional, di Jakarta (1979).

MENYIMAK kreasi terbaru sutradara Teater Bumi Bali,  Abu Bakar (AB) – dramatisasi “Sajak Sebatang Lisong”, karya WS Rendra yang dimainkan dengan  indah oleh talenta muda berbakat, Intan Surya Dewi (telah tayang di aplikasi fb),  saya jad I teringat gumam AB dalam sejumlah kesempatan. “Ya bro, kita sungguh merindu Rendra…!”.

Dalam cermatan saya, nama penyair sohor berjuluk ‘si burung merak’ itu kerap terucap dari bibir AB jika ngobrol santai tapi topik serius tentang kondisi terkini negeri yang  terlalu banyak omong kosong (gaduh) yang menguras potensi n energi bangsa dengan sia-sia. Ironisnya,  hobi gaduh itu tak juga surut di tengah hidup rakyat yang tengah megap-megap  didera pandemi yang tak kunjung berujung.

Dan, sedihnya tak ada lagi muncul budayawan, seniman,  penyair sekelas Rendra yang mampu menangkap dengan cerdas keluh kesah rakyat sebagai basis roh karya dan mau (berani) berseru dg lantang menunjuk hidung kaum kuasa yagn terkesan hanya sibuk kasak-kusuk untuk upaya kukuh terus berkuasa.

Rendra begitu  peduli negeri,  tidak saja lewat karya pentas teater semacam, “Mastodon dan Burung Condor”,  “Perjuangan Suku Naga”,  “Penembahan Reso”, juga  lewat karya sajak cadas nan bernas semacam elegi “Rangkasbitung”,  “Bersatulah Pelacur Jakarta”, “Paman Doblang”, “Sajak Sebatang Lisong” dan  karya impresif lainnya,  tapi juga sering terjun langsung ke sisi rakyat jelata, sembari  mengobarkan semangat para aktivis, pemuda dan mahasiswa dalam upaya memperjuangkan aspirasi rakyat banyak.

Seperti dapat disimak di buku Biografi Abu Bakar,  “Aku dan Teater Kontemporer” (2019), rekam respek AB pada sosok Rendra sudah tercatat sejak jauh di medio 1980 silam. Saat itu Teater Poliklinik pimpinan Abu Bakar  tercatat sukses mementaskan dramatisasi sajak Rendra “Nyanyian Angsa” di Gedung Tri Prasetya RRI, Jalan Melati,  Denpasar, Bali.

Maka peminat seni pentas tak akan kaget jika AB kerap mengusung spirit karya-karya  Rendra dalam pentasnya. Jika pun bukan ditargetkan untuk menggedor nurani kaum kuasa, paling tidak bisa dibaca semacam satir  bagi para pendaku penyair, seniman kekinian yang terkesan main aman, ikut latah  bak laron merubung istana kekuasaan  yang fana,  menepi dan abai atas realita sosial rakyat jelata, kaum tertindas  dan  kehidupan bangsa.

Penyair terkini terlalu asyik dengan diri sendiri.  Tak  tampak ada bara api  atau daya juang  untuk pembela kepentingan kaum pinggiran seperti pilihan sikap berkesenian yang  konsisten diaktualisasikan si Burung Merak sepanjang hidup kreatifnya.

Ya,  kita rindu Rendra!

Putu Suarthama, peminat seni budaya, tinggal di Sukawati, Bali.

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *