Ajak Wik Wik Adik Kelas di Toilet Mall Jimbaran, Siswa Asal Jepang Terancam 7,5 Tahun
KITA RINDU RENDRA
MENYIMAK kreasi terbaru sutradara Teater Bumi Bali, Abu Bakar (AB) – dramatisasi “Sajak Sebatang Lisong”, karya WS Rendra yang dimainkan dengan indah oleh talenta muda berbakat, Intan Surya Dewi (telah tayang di aplikasi fb), saya jad I teringat gumam AB dalam sejumlah kesempatan. “Ya bro, kita sungguh merindu Rendra…!”.
Dalam cermatan saya, nama penyair sohor berjuluk ‘si burung merak’ itu kerap terucap dari bibir AB jika ngobrol santai tapi topik serius tentang kondisi terkini negeri yang terlalu banyak omong kosong (gaduh) yang menguras potensi n energi bangsa dengan sia-sia. Ironisnya, hobi gaduh itu tak juga surut di tengah hidup rakyat yang tengah megap-megap didera pandemi yang tak kunjung berujung.
Dan, sedihnya tak ada lagi muncul budayawan, seniman, penyair sekelas Rendra yang mampu menangkap dengan cerdas keluh kesah rakyat sebagai basis roh karya dan mau (berani) berseru dg lantang menunjuk hidung kaum kuasa yagn terkesan hanya sibuk kasak-kusuk untuk upaya kukuh terus berkuasa.
Rendra begitu peduli negeri, tidak saja lewat karya pentas teater semacam, “Mastodon dan Burung Condor”, “Perjuangan Suku Naga”, “Penembahan Reso”, juga lewat karya sajak cadas nan bernas semacam elegi “Rangkasbitung”, “Bersatulah Pelacur Jakarta”, “Paman Doblang”, “Sajak Sebatang Lisong” dan karya impresif lainnya, tapi juga sering terjun langsung ke sisi rakyat jelata, sembari mengobarkan semangat para aktivis, pemuda dan mahasiswa dalam upaya memperjuangkan aspirasi rakyat banyak.
Seperti dapat disimak di buku Biografi Abu Bakar, “Aku dan Teater Kontemporer” (2019), rekam respek AB pada sosok Rendra sudah tercatat sejak jauh di medio 1980 silam. Saat itu Teater Poliklinik pimpinan Abu Bakar tercatat sukses mementaskan dramatisasi sajak Rendra “Nyanyian Angsa” di Gedung Tri Prasetya RRI, Jalan Melati, Denpasar, Bali.
Maka peminat seni pentas tak akan kaget jika AB kerap mengusung spirit karya-karya Rendra dalam pentasnya. Jika pun bukan ditargetkan untuk menggedor nurani kaum kuasa, paling tidak bisa dibaca semacam satir bagi para pendaku penyair, seniman kekinian yang terkesan main aman, ikut latah bak laron merubung istana kekuasaan yang fana, menepi dan abai atas realita sosial rakyat jelata, kaum tertindas dan kehidupan bangsa.
Penyair terkini terlalu asyik dengan diri sendiri. Tak tampak ada bara api atau daya juang untuk pembela kepentingan kaum pinggiran seperti pilihan sikap berkesenian yang konsisten diaktualisasikan si Burung Merak sepanjang hidup kreatifnya.
Ya, kita rindu Rendra!
Putu Suarthama, peminat seni budaya, tinggal di Sukawati, Bali.